BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi. Setiap manusia berinteraksi dengan sesamanya dengan segala tujuannya untuk memenuhi kebutuhan keduniaan.
Syariat Islam yang ditujukan untuk seluruh manusia di muka bumi hingga waktu yang tak terbatas mempunyai beberapa konsekuensi penting yang tidak bisa dipungkiri lagi keharusannya. Salah satunya adalah syariat harus sesuai dengan fitrah manusia. Secara alami, jiwa manusia cenderung kepada segala bentuk kemudahan, kelapangan, kenikmatan dan hal-hal lain yang menyenangkan. Pada saat yang sama, jiwa-jiwa itu akan menghindari bentuk-bentuk kesulitan, kesempitan, kesengsaraan dan hal-hal lain yang membuatnya menderita. Akan tetapi manusia mempunyai banyak keterbatasan, sehingga tidak bisa memastikan apa yang baik dan buruk bagi dirinya. Dalam titik inilah syariat Islam menarik untuk diposisikan. Kesesuaiannya dengan fitrah manusia, membuatnya mudah untuk dipahami sekaligus diterapkan dalam kehidupan umat manusia. Hanya saja pada gilirannya, banyaknya cara pandang yang digunakan melahirkan perbedaan pemahaman yang terkadang tidak cukup beralasan. Dan tampaknya Ibnu ‘Asyur menjadi salah satu dari mereka yang sangat menyesalkan itu. Baginya, diperlukan rambu-rambu khusus yang tidak diragukan lagi kebenarannya untuk dijadikan pedoman umum dalam rangka menghilangkan, atau paling tidak meminimalisir perselisihan yang tidak cukup beralasan. Tawaran itu beliau namakan maqhâsid al-syarî‘ah. Didalam maqhâsid al-syarî‘ah tercakup pula maqhâsid fil muamalah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari muamalah ?
2. Apa pengertian dari jual beli?
3. Apa yang dimaksud dengan maqasid fil Muamalah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian muamalah
2. Untuk mengetahui pengertian dari maqashid syariah
3. Untuk mengetahui makna dari maqashid fil Muamalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Muamalah
Walaupun istilah muamalah ini bersifat kei-Islaman, namun Kata muamalahsaat ini telah menjadi bahasa yang lazim digunakan di Indonesia, khususnya di kalangan umat Islam Indonesia dengan maksud untuk hal-hal yang berkaitan dengan urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb).
Kata Muamalahsebenarnya berasal dari bahasa Arab: al-Muamalah(المعامله) yang secara etimologi sama dan semakna dengan kata al-mufa`alah(المفاعله), yang artinya saling berbuat. Pengertian harfiahnya: suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang lain atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Kata “seseorang” dalam definisi di atas adalah orang/manusia yang sudah mukallaf, yang dikenai beban taklif, yaitu orang yang telah berakal baligh dan cerdas.[1]
Secara bahasa katamuamalah adalah masdar dari kata 'AMALA-YU'AMILU-MU'AMALATANyang berarti saling bertindak, saling berbuat dan saling beramal. Pengertian fiqh muamalah menurut Idris Ahmad adalah aturan All ah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik sedangkan menurut Rasyid Ridho muamalah adalah tukar-menukar barang atu sesutu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan. [2]
Objek muamalah dalam Islam mempunyai bidang kajian yang amat luas sehingga al-Qur`an dan as-Sunnah secara mayoritas lebih banyak membicarakan persoalan muamalah dalam bentuk yang global dan umum saja. Menurut DR. Nasrun Haroen, MA, hal ini menunjukkan bahwa Islam memberikan peluang bagi manusia untuk melakukan inovasi terhadap berbagai bentuk muamalah yang mereka butuhkan dalam kehidupan mereka, dengan syarat bahwa muamalah hasil inovasi ini tidak keluar dari prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh Islam.
Tujuan dari muamalah sendiri menurut Dr M Khaeruddin adalah sebagai berikut[3] :
1. Sasaran akhir yang akan dicapai dalam muamalah adalah “falah”. Falah adalah kesuksesan hakiki berupa pencapaian kebahagian dalam segi material dan spiritual serta tercapainya kesejahteraan di dunia dan akhirat. Kesuksesan dalam aspek material tidaklah bermakna apabila mengakibatkan kerusakan dalam aspek kemanusiaan lainnya seperti persaudaraan dan moralitas.
2. Muamalah dalam Islam dilandasi pemikiran bahwa setiap kegiatan dan aktivitas manusia memiliki dimensi “ibadah” yang dapat diimplementasikan pada setiap level kegiatan. Dengan aqidah yang benar akan dapat menghasilkan perbuatan baik yang mencerminkan suatu akhlak mulia.
3. Dalam rangka penyelarasan kegiatan yang berbeda, perlu ada sistem yang dilengkapi dengan hukum syariah yang dilaksanakan selaras dengan hukum positif yang berlaku dalam suatu sistem kemasyarakatn.
4. Implementasi syariah-akhlak diharapkan akan menghasilkan suatu fenomena kebersamaan dalam melaksanakan muamalah yang mengutamakaan kesejahteraan bersama dalam pencapaian tujuan aktivitas muamalah. Dasar-dasar syariah dapat dijabarkan dalam bentuk pilar-pilar yang akan mewarnai sifat dan bentuk transaksi keuangan yang dioperasikan, yaitu aspek keadilan; kemaslahatan dan keseimbangan.
5. Semua upaya pencapaian dalam muamalah, tujuan puncaknya adalah untuk mencapai mardlatillah (mencapai keridlaan Allah).
Sedangkan Menurut para Ulama fiqh dengan merujuk kepada 2 sumber utama hukum Islam: al-Qur`an dan Hadits, tujuan muamalah antara lain:
1. Untuk kemaslahatan umat manusia
2. Untuk mengatur aktivitas tiap orang agar mengikuti panduan Islam.[4]
Para Ulama Fiqh membagi jenis muamalah menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Muamalah yang hukumnya langsung ditentukan (ditunjuk) oleh Nash (al-Qur`an dan al-Sunnah). Contoh persoalan perdata: warisan, bilangan talak pernikahan, iddah, khluk, rujuk, keharaman (jual) khamar (minuman keras), keharaman riba, keharaman (jual) babi, keharaman (jual) bangkai. Contoh persoalan pidana: hukum pencurian, hukum perzinahan, hukum qazhaf (menuduh orang lain berbuat zina), dll.
2. Muamalah yang tidak ditunjuk langsung oleh Nash, tetapi diserahkan sepenuhnya kepada hasil ijtihad para Ulama, sesuai dengan kreasi para ahli dalam rangka memenuhi kebutuhan umat manusia sepanjang tempat dan zaman, serta sesuai pula dengan situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri. Contoh: menerapkan sistem jual beli tanpa proses ijab dan qabul seperti transaksi jual beli di supermarket, minimarket, swalayan, pasar, dll. Bahasa umum yang digunakan oleh nash dalam sistem jual beli adalah kerelaan antara pembeli dan penjual.
B. Dasar Hukum Muamalah
Ulama fiqh sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya.[5]Dengan demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum/ tidak ditemukan nash yang secara sharih melarangnya. Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya adalah dilarang. Kita tidak bisa melakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan nash yang memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan jika tidak terdapat syariat dari-Nya.
Allah berfirman: “Katakanlah, Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS.Yunus:59)[6]. Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah memberikan kebebasan dan kelenturan dalam kegiatan muamalah, selain itu syariah juga mampu mengakomodir transaksi modern yang berkembang.
Allah Swt juga berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S Al Qashash 28 : 77)
Mereka harus senantiasa ingat akan nasibnya dari dunia yang sangat sedikit dan sebentar. Bila kenikmatan yang sedikit ini tidak dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kehidupan yang abadi tentu mereka akan menyesal untuk selamanya. Sementara sebagian orang menjadikan ayat ini sebagai dorongan untuk meningkatkan kehidupan duniawi, padahal tanpa menggunakan ayat al-Qur’an pun kebanyakan manusia terus berlomba dalam mencari dan meningkatkan kehidupan dunia.
Sebaliknya, karena kesibukan duniawi yang tidak pasti ini, banyak sekali manusia melupakan tugasnya sebagai hamba dalam menghadapi hari akhirat yang pasti terjadi. Karena itu sangat diperlukan bagi mereka penjelasan tentang hakikat keni’matan dunia, bahwa keni’matan tersebut Allah sediakan demi bekal akhirat. Dan manusia diingatkan bahwa waktu yang tersedia untuk membekali diri demi kepntingan akhirat sangat terbatas. Karena itu janganlah manusia lalai akan keterbatasan waktu ini.
C. Jual Beli
Salah satu yang dipelajari dalam muamalah adalah jual beli. Jual beli (البيع) secara bahasa merupakan masdar dari kata بعت diucapkan يبيع-باء bermakna memiliki dan membeli. Kata aslinya keluar dari kata الباع karena masing-masing dari dua orang yang melakukan akad meneruskannya untuk mengambil dan memberikan sesuatu. Orang yang melakukan penjualan dan pembelian disebut البيعا ن. Jual beli diartikan juga “pertukaran sesuatu dengan sesuatu”. Kata lain dari al-bai’adalah asy-syira’, al-mubadah dan at-tijarah.[7]
Pengertian jual beli (البيع) secara syara’ adalah tukar menukar harta dengan harta untuk memiliki dan memberi kepemilikan (Mughnii 3/560).
Sebagian ulama lain memberi pengertian :
a. Menurut ulama Hanafiyah : Saling menukarkan harta dengan harta melalui cara tertentu atau tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat”.
b. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : Saling menukar harta dengan bentuk pemindahan milik.
c. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni : Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.
d. Said Sabiq mendefinisikan : Saling menukar harta dengan harta atas dasar suka sama suka.
e. Tukar menukar harta meskipun ada dalam tanggungan atau kemanfaatan yang mubah dengan sesuatu yang semisal dengan keduanya, untuk memberikan secara tetap (Raudh al-Nadii Syarah Kafi al-Muhtadi, 203).
f. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling ridha. (Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah)
g. Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan qabul dengan cara yang sesuai dengan syara. (Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, hal. 329)
h. Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan dan memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan. (Fiqh al-Sunnah, hal. 126)[8]
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
D. DASAR HUKUM JUAL BELI
Jual beli sebagai sarana tolong-menolong antara sesama manusia mempunyai landasan yang amat kuat dalam Islam. Al-Qur`an dan Hadits telah membahas tentang praktek jual beli sebagai salah satu transaksi muamalah yang ada dalam sistem ekonomi Islam.
Terdapat beberapa ayat al-Qur`an yang membahas tentang jual beli, 2 di antaranya yang sangat populer dijadikan sebagai landasan dasar hukum jual beli dalam persfektif hukum fiqh muamalah, yaitu:
…وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا…
Artinya: ….. padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….(surah al-Baqarah2:275)[9]
Berdasarkan QS. al-Baqarah 2:275 di atas, Allah telah memberikan label halal pada transaksi Jual Beli dan memberikan cap haram kepada transaksi Riba (الرِّبَا).
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍۢ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًۭا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Surah an-Nisa` 4:29)[10]
Jika melihat penjelasan dalam QS. an-Nisa` 4:29 di atas, Secara tegas, Allah telah memberikan peringatan larangan untuk perbuatan ilegal memakan harta orang lain tanpa proses perniagaan yg sah (التجارة). Bahkan ayat ini disambung dengan kalimat larangan pembunuhan diri sendiri.
Selain ditemukan di dalam al-Qur`an, dasar Hukum tentang Jual Beli dapat juga ditemukan melalui penelusuran Hadits Rasulullah. Beberapa di antaranya sebagai berikut.
ﺇﻨﻤﺎ ﺍﻟﺒﻴﻊ ﺗﺮﺍﺩ ( ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻯ)
Artinya : “Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka suka sama suka.” (HR Bukhari)
ﺃﻠﺒﻴﻌﺎﻥ ﺑﺎ ﻟﺨﻴﺎﺭ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻴﺘﻔﺮﻗﺎ ( ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻯ ﻭ ﻤﺴﻠﻢ)
Artinya : “ Dua orang jual beli boleh memilih akan meneruskan jual beli mereka atau tidak, selama keduanya belum berpisah dari tempat akad.” (HR Bukhari dan Muslim)[11]
Dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang melakukan jual beli dan tawar menawar dan tidak ada kesesuaian harga antara penjual dan pembeli, si pembeli boleh memilih akan meneruskan jual beli tersebut atau tidak. Apabila akad (kesepakatan) jual beli telah dilaksanakan dan terjadi pembayaran, kemudian salah satu dari mereka atau keduanya telah meninggalkan tempat akad, keduanya tidak boleh membatalkan jual beli yang telah disepakatinya.
Berdasarkan beberapa ayat al-Quran dan Hadis Nabi di atas, maka para Ulama Fiqh menfatwakan bahwa hukum asal jual beli itu adalah mubah (boleh dilakukan).
Hukum mubah jual beli bahkan bisa berubah menjadi hukum wajib pada kondisi tertentu. Seperti dijelaskan oleh Imam asy-Syatibi (pakar fiqh Maliki, 790 H), ketika terjadi praktek nakal oleh para pedagang besar (cukong, bos, toke besar, agen produk) yg melakukan penimbunan barang (ihtikar) sehingga stok barang hilang dari peredaran pasar dan membuat harga melonjat naik, maka pemerintah boleh memaksa para pedagang untuk menjual barang yg ditimbunnya sesuai harga sebelum terjadi kenaikan harga. Menurut Asy-Syatibi: Pedagang tersebut hukumnya wajib menjual barangnya sesuai ketentuan pemerintah.[12]
E.
[1] Anonym, Arti Kata Muamalah, http://www.artikel.majlisasmanabawi.net/kamus-spiritual/arti-kata-muamalah-pengertian-muamalah/, di akses 02 April 2013
[2]Anonym,Fiqh Muamalah, http://islamwiki.blogspot.com/2009/05/fiqih-muamalah.html, diakses 02 April 2013
[3]M Khaeruddin,Fiqh Muamalah,
[4] Annym, pengertian Mualamah, http://www.artikel.majlisasmanabawi.net/kamus-spiritual/arti-kata-muamalah-pengertian-muamalah/, diakses 2 April 2013
[5] Anonym, Hukum Asal dalam Muamalah adalah Mubah (diperbolehkan), http://www.subkialbughury.com/2011/02/prinsip-dasar-fiqh-muamalah/ , diakses 27 April 2013
[6]Ibid
[7]Anonym, Fiqih Muamalah Bab 3 Murabahah (jual Beli ), http://pasar-islam.blogspot.com/2011/04/fiqih-muamalah-bab-3-murabahah-jual.html, diakses 26 April 2013
[8] Ibid
[9]Anonym, Hukum Jual Beli Menurut al-Qur`an dan Hadits, http://www.artikel.majlisasmanabawi.net/hukum-jual-beli-menurut-al-quran-dan-hadits/#ixzz2RN3tJ7gh ,diakses 22 April 2013
[10]Ibid
[11]Bustamam Ismail, hokum islam tentang muamalah, http://hbis.wordpress.com/2007/11/23/hukum-islam-tentang-muamalah/, diakses 11 April 2013
[12]Anonym, Hukum Jual Beli Menurut al-Qur`an dan Hadits, http://www.artikel.majlisasmanabawi.net/hukum-jual-beli-menurut-al-quran-dan-hadits/#ixzz2RN3tJ7gh ,diakses 22 April 2013